Sebenarnya tulisan ini umum saja, bukan semata urusan sprei, karena sebagian pengusaha sudah paham masalah ini, tetapi kisah ini sangat menginspirasi kenapa kami tetap bertahan berbisnis sprei dan pengembangannya seputar handuk dan selimut.
Seorang usahawan muda di Jakarta memiliki uang 10 juta dollar atau sekitar 94 M. Ia bingung untuk investasi. Kalau dideposito dan sebutlah dapat bunga 4 persen, setahun uangnya bertambah 3,7 M atau 313juta sebulan. Cukup enak, namun bukan wataknya menyimpan uang di bank. Dia lebih suka bertarung di lapangan.
Kepada ayahnya yang seorang usahawan komponen otomotif, anak muda itu minta saran. Ayahnya berkata “Mantapkan hatimu . Masuklah ke bisnis yang engkau sukai dan benar benar kuasai. Jangan silau kemajuan usahawan lain. Putuskan dan Lupakan ”
Anak muda ini terkesiap dengan ucapan ayahnya. Ia lalu menimbang lagi. Kalau membangun hotel bintang dua, ia bisa mendapatkan dua hotel dengan masing masing diatas 100 kamar. Jika hotel selalu hampir penuh dan dikelola dengan baik, dia berharap modal kembali kurang dari empat tahun. Sisanya tinggal menghitung laba.
Kalau membuka kafe waralaba asing , isa bisa memperoleh setidaknya 30 kafe kelas satu. Kalau berjalan mulus, investasi bisa balik dalam tiga tahun, Tapi jika gagal ?
Terombang ambing, ia teringat nasihat ayahnya. Masuk ke bisnis yang ia kuasai benar. dan bisnis itu adalah perminyakan. Selama delapan tahun terakhir, ia bekerja di sebuah perusahaan minyak bumi. Maka ia tetapkan hati masuk ke Minyak.
Berdasarkan izin legal yang ia peroleh, ia gunakann uangnya untuk mencari sumur minyak di pulau sumatera. Menurut hitungan sederhana kalau beruntung pencarian pertama saja sudah bisa menemukan sumur minyak. Pada explorasi pertama tidak menemukan apa apa. Dia tidak terpukul. sampai pada explorasi ke delapan ditemukan sumber minyak, tetapi tidak layak. Ongkos ekplorasi malah lebih tinggi dibandingkan dengan perolehan minyak. Disini ia berdebar “TerusĀ atau tidak ? uangnya hanya cukup untuk dua kali lagi pencarian minyak lagi. Kalau hasilnya nihil?”
Pada titik amat kritis, ia teringat kembali nasihat ayahnya. Putuskan dan lupakan. Ia putuskan terus mencari. Lupakan, agar ia tidak menyesal kelau seluruh hasilnya buruk. Pada pencarian kesembilan, kembali timnya gagal. Pada kesempatan terakhir, usahawan ini bisa tersenyum. Timnya menemukan sumur minyak. Tidak besar, “hanya” 10.500 barrel perhari. Ia sujud syukur, kini ia bisa membangun perusahaan ritel, beberapa kafe, restoran yang laris dan membeli saham sebuah bank swasta nasional.